Penerapan aturan pembayaran royalti untuk memutar musik, dikhawatirkan berpotensi mematikan bisnis kafe dan restoran. Di satu sisi, memanjakan pelanggannya dengan memutar musik, namun di sisi lain pemilik diwajibkan membayar tarif atas musik tersebut.
Ternate, Pijarpena.id
Memutar musik di tempat-tempat komersial, kini adalah ibarat dua sisi mata pedang, khususnya bagi pengusaha bisnis kafe dan restoran, termasuk di Ternate, Provinsi Maluku Utara (Malut).
Di satu sisi, pengunjung yang datang, selalu ingin “servis tambahan” dengan suguhan musik. Di sisi lain, pihak kafe maupun restoran, wajib mengeluarkan “dana ekstra” untuk membayar royalti atas musik yang mereka putar.
Tak ayal, penerapan ketentuan ini, juga memancing respon sejumlah pengelola kafe di Kota Ternate.
Salah salah satu barista sekaligus marketing manager Commune Coffe Ternate, Falko mengaku kaget karena baru mendengar aturan tersebut.
Saat diwawancara Pijarpena.id, Sabtu (23/08/2025), Falko mengatakan, hal ini menjadi beban atas aturan yang tiba-tiba muncul tanpa adanya transparansi sistem yang jelas.
“Saya juga baru dengar aturan itu. Kalau hak cipta untuk cover bisa saja dituntut. Cuma kalau hanya putar, masa dikenakan bayar royalti,” ujarnya dengan heran.
Dengan begitu, ia merasa terbeban atas penerapan aturan tersebut. Menurutnya aturan itu bisa memicu kurangnya pengunjung.
“Biasa kan pengunjung sering dengar lagu-lagu ketika santai sambil minum kopi. Kalo tidak ada musik, nuansa kaffe akan berkurang. Yang pasti pengunjung pun akan ikut berkurang,” tuturnya.
Menurut Falko, kebijakan tersebut pastinya akan mengurangi peminat musik-musik lokal di Indonesia. Dikatakan, sebagai alternatif, ia memilih memutar lagu berasal dari luar negeri.
“Dari pada putar lagu musik lokal yang dikenakan royalti, lebih baik putar lagu barat saja walaupun kurang peminat,” akunya.
Ia menambahkan, peraturan ini belum ada kepastian mekanisme yang jelas dan transparan. Ia juga mengaku sejauh ini belum ada surat resmi yang ia kantongi mengenai perihal tersebut.